AYU WIJAYANTI
1121218012
Kekerasan di lingkungan sekolah sudah tidak
asing lagi untuk diperbincangkan. Banyak tindakan kekerasan yang dilakukan
terhadap siswa oleh teman-teman sebayanya, guru maupun oleh orang tuanya, atau sebaliknya dimana sang guru atau orang tua
menjadi korban kekerasan siswa yang kita dengar atau lihat melalui berbagai
media informasi. Kekerasan tersebut bisa berbentuk kekerasan fisik, kekerasan verbal,
atau tindakan intimidasi terhadap korban. Seiring dengan berkembangnya
teknologi, bentuk kekerasan tersebut dapat kita temui di berbagai jejaring
sosial yang kerap dimanfaatkan menjadi media komunikasi kebanyakan masyarakat
saat ini. Kekerasan melalui jejaring sosial ini disebut sebagai cyber bullying.
Cyber
bullying termasuk fenomena yang
relatif baru menyusul tren media komunikasi yang makin modern. Cyber bullying didefinisikan sebagai sebuah
tindakan agresif yang disengaja dilakukan oleh kelompok atau individu dengan
menggunakan sarana teknologi komunikasi dan media elektronik berulang kali dan
sepanjang waktu terhadap korban yang tidak dapat dengan mudah membela dirinya
sendiri (Mulyadi, 2010). Sementara itu Rudi (2010) dalam artikelnya Informasi
Perihal Bullying menyebutkan bahwa cyber bullying adalah perbuatan bullying atau intimidasi melalui medium
internet dan teknologi digital, misalnya ponsel, SMS, MMS, email, Instant
Messenger, website, situs jejaring sosial, blog, dan online forum dengan tujuan
untuk mengganggu, mengancam, mempermalukan, menghina, mengucilkan secara
sosial, atau merusak reputasi orang lain.
Lebih lanjut Rudi (2010) menyebutkan
beberapa perilaku yang umum dilakukan dalam tindakan cyber bullying, yaitu :
1. Flame
War
Dapat terjadi di milis atau online forum, berupa perdebatan
yang tidak esensial atau penyanggahan tanpa dasar yang kuat dengan menggunakan
bahasa kasar dan menghina.
2. Gangguan (Harassment)
Berulang kali posting atau mengirimkan pesan tidak
pantas melalui email. Mengirim spam e-mail dengan jumlah belasan hingga ratusan
per-hari.
3. Pencelaan
Menyebarluaskan gossip (benar atau tidak) tentang
seseorang dengan tujuan untuk mencela dan merusak reputasi seseorang. Misalnya,
Secara online menyebarluaskan rahasia, informasi atau photo pribadi yang
membuat seseorang menjadi malu.
4. Impersonation
Berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan
yang bertujuan agar orang lain tersebut mendapat masalah atau merusak
persahabatan dan reputasinya. Misalnya, A mencuri password B. Kemudian dengan
menggunakan password curian tersebut, A mengirimkan e-mail seolah-olah dari B
berisi pernyataan yang menyakiti teman B sehingga persahabatan B dengan
temannya menjadi rusak.
5. Tipu Muslihat
Berpura-pura menjadi teman anda dan banyak bertanya
sehingga tanpa sadar anda berbagi informasi yang sangat pribadi. Pelaku bullying kemudian meneruskan informasi
yang sangat pribadi tersebut kepada banyak orang secara online dengan menambahkan
komentar, bahwa anda seorang pecundang.
6. Pengucilan Secara Sosial
Dengan sengaja memboikot, mengabaikan, mengasingkan
atau mengucilkan seseorang dari suatu online group.
Sudah banyak terjadi kasus cyber bullying yang mengakibatkan
korbannya mengalami stress, depresi, bahkan ada yang nekat melakukan bunuh
diri. Seperti kasus di St. Louis, AS pada tahun 2006 lalu, seorang gadis
berusia 13 tahun bernama Megan Meier memilih mengakhiri hidupnya dengan
menggantung diri di kamarnya akibat kekerasan dan pelecehan verbal yang
dialaminya melalui akun pribadinya di MySpace
(Equilibrium, 2012). Di Indonesia sendiri, kasus serupa juga pernah
terjadi, yakni di SMU Negeri 4 Tanjungpinang, Kepulauan Riau seorang kawan guru
pernah menemukan sekelompok siswa yang membuat grup dengan nama “Grup Anti Mr.
X (nama seorang guru)” di situs jejaring sosial Facebook. Di dalam grup ini
para siswa ini ramai-ramai mencaci guru yang kurang mereka sukai. Ada pula
kejadian ketika pengumuman kelulusan di sebuah SMA, seorang kepala sekolah
menjadi sasaran ejekan dan caci maki para muridnya. Pasalnya bapak kepala
sekolah ini diam saja tak berdaya dan membiarkan anak-anak kelas III yang lulus
mencoreti halaman sekolah dengan pylox. Kontan, sikap pengecut si kepala
sekolah ini menjadi bahan tertawaan para murid di situs jejaring sosial
facebook dan Twitter (Bemoe, 2011).
Tindakan cyber bullying ini bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti marah,
sakit hati, balas dendam atau karena frustasi; haus kekuasaan dengan menonjolkan
ego dan menyakiti orang lain; merasa bosan dan memiliki kepandaian melakukan
hacking; untuk hiburan, mentertawakan atau mendapatkan reaksi; atau ketidaksengajaan,
misalnya berupa reaksi/komentar impulsif dan emosional (Rudi, 2010).
Namun bila ditinjau dari teori konflik
yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf, tindakan cyber bullying merupakan tindakan yang terjadi karena adanya
keinginan dari pelaku bullying untuk
mendapatkan legitimasi dari masyarakat disekitarnya karena telah berhasil
menaklukkan individu yang menjadi korban dari tindakan intimidasi yang
dilakukan dengan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan yang dimaksud bisa saja
kelebihan mereka atau si pelaku dibanding korban dari peran yang dimiliki dalam
suatu lingkungan, sisi kepemilikan materi, keberadaan peer group yang memberikan dukungan, atau pencapaian prestasi yang
dianggap lebih baik dalam suatu bidang oleh sang pelaku bullying. Sehingga tindakan tersebut juga mengindikasikan adanya
sikap seseorang atau suatu kelompok dari bagian masyarakat yang ingin
menunjukkan bahwa dia atau merekalah yang memegang kekuasaan dan siapapun yang
dianggap tidak memiliki apa yang mereka jadikan kekuatan tadi harus diperjelas posisinya
sebagai seseorang atau kelompok yang bisa dengan bebas diperlakukan
semena-mena.
Dahrendorf juga menjelaskan bahwa
kekuasaan atau otoritas bukanlah sesuatu yang bersifat tetap, karena ia melekat
pada posisi dan bukan pada pribadi (Raho, 2007). Sehingga siapapun berpotensi
menjadi pelaku bullying. Bahkan bisa
saja korban bully di suatu lingkungan
menjadi pelaku bullying di lingkungan
yang lain, karena adanya relasi-relasi sosial yang
terbentuk di masyarakat atau lingkungan lain yang melibatkan identitas dan
posisi dalam sebuah struktur sosial. Seperti dalam kasus bullying terhadap guru yang dilakukan oleh siswanya. Bila di
lingkungan sekolah guru adalah sosok yang memiliki kekuasaan dan otoritas atas
siswanya, maka di dunia cyber atau
atau dunia digital yang diwakili oleh jejaring sosial, kelompok siswanyalah
yang berkuasa dan memiliki otoritas penuh. Kesadaran para siswa akan kekuasaan
dan otoritas yang mereka miliki di jejaring sosial tadi membuat mereka merasa
bebas mengekspresikan semua ketidaksukaan terhadap guru tersebut, tanpa rasa
bersalah dan rasa takut akan mendapat sanksi karena telah melakukan tindakan
yang melawan kekuasaan bila mereka ungkapkan secara langsung.
Jadi dapat dikatakan bahwa cyber bullying merupakan hasil dari
ketidakberimbangan kekuasaan di suatu kelompok masyarakat atau lingkungan.
Kekuasaan dalam kasus ini berupa kemampuan seseorang atau sekelompok individu
dalam mempengaruhi pihak lain untuk mengikuti apa yang diinginkan dan
diperintahkannya. Pihak yang memberikan pengaruh terbesar adalah pemilik
kekuasaan tertinggi, sehingga kondisi ini dapat digambarkan dengan hukum rimba,
siapa yang paling kuat ialah yang akan menjadi raja.
Referensi :
Bemoe, Agnes. 06 September 2011. Cyber Bullying Mengintip Sekolah. Didownload dari http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/06/cyber-bullying-mengintip-sekolah/
Equilibrium. 2 Januari 2012. Cyber Bullying.
Didownload dari http://mystateofequilibrium.blogspot.com/2012/01/cyber-bullying.html
Mulyadi, Teddy. 20 Juli
2010. Menjauhkan Anak dari Cyber
Bullying. Didownload dari http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/websites/2027105-menjauhkan-anak-dari-cyberbullying/
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Prestasi Pustaka. Jakarta.
Rudi, Tisna. 2010. Informasi
Perihal Bullying. Didownload dari http://bigloveadagio.files.wordpress.com/2010/03/informasi_perihal_bullying.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar