Foto saya
Bengkulu, Indonesia
a lover..

Sabtu, 16 Juni 2012

Foto Pre-wedding dan Budaya Konsumen



Oleh : Ayu Wijayanti
Pendahuluan
                Sesaat setelah selesai kuliah Sosiologi Agama pada 21 April 2012 di Ruang Sidang Antropologi, karena saat itu Ruang Sidang Sosiologi sedang digunakan untuk mata kuliah Sosiologi Pedesaan, saya harus segera berpindah ke Gedung Dekanat untuk mengikuti perkuliahan Manajemen dan Resolusi Konflik. Saat keluar dari ruangan saya melihat sepasang calon pengantin sedang mengambil gambar untuk foto pre-wedding di koridor gedung jurusan, namun sayangnya saya tidak sempat bertanya mereka alumni dari jurusan apa atau angkatan tahun berapa. Sesi foto pre-wedding tersebut tentu saja cukup menarik perhatian saya karena pemilihan gedung dalam kampus masih tidak umum dilakukan oleh pasangan yang akan menikah. Biasanya pasangan yang akan menikah memilih melakukan foto pre-wedding di dalam studio atau di daerah wisata dengan pemandangan alam yang indah sebagai latar belakang foto. Maka sesi foto pre-wedding yang dilakukan di koridor gedung jurusan tersebut membuat saya berinterpretasi bahwa pasangan yang akan menikah tersebut meminta secara khusus kepada fotografer mereka untuk melakukan sesi foto pre-wedding di lokasi yang merupakan lokasi awal mereka bertemu.
                Setelah melihat sesi foto tersebut, saya jadi teringat teman-teman saya dan klien teman saya yang memiliki studio foto di Bengkulu. Kebanyakan dari mereka memilih melakukan sesi foto pre-wedding untuk mengabadikan kebersamaan mereka sebelum menikah. Mengingat fenomena tersebut yang sudah menggejala di lingkungan sekitar saya, saya kemudian mulai memahami fenomena tersebut sudah menjadi trend bagi  pasangan yang akan menikah, dan bukan hanya menjadi fenomena ekonomi, karena sudah jelas fenomena ini akan memberikan keuntungan bagi pihak yang menyediakan jasa sebagai fotografer, namun juga menjadi fenomena sosial karena pada akhirnya foto pre-wedding akan menjadi sesuatu yang harus dikonsumsi oleh masyarakat kita untuk mendapatkan makna sosial berupa kesan dari orang lain.
                Berangkat dari fenomena ini, secara sadar atau tidak, teman-teman dan masyarakat di sekitar saya telah menjadi masyakarat konsumsi dalam budaya konsumen. Sehingga pertanyaan mendasar dari tulisan ini adalah apa dan bagaimana sesungguhnya masyarakat konsumsi dalam budaya konsumen dan bagaimana foto pre-wedding pada akhirnya menjadi salah satu kebutuhan masyarakat konsumsi dalam budaya konsumen tersebut.

Pembahasan
                Menurut Don Sleater (dalam damsar, 2009:126) konsumsi  adalah tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Artinya konsumsi berkaitan dengan bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dan terpuaskan atau menemui kepuasan hidup. Tindakan-tindakan manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan pencapaian kepuasan hidup itu berkaitan pula dengan material, symbol, jasa dan pengalaman. Seluruh rangkaian inilah yang dimaknai sebagai tindakan konsumsi yang juga merupakan suatu proses budaya. Kemudian dijelaskan pula oleh Lee, Lury, dan Featherson (dalam Damsar, 2009:126) bahwa konsumsi benda-benda dalam masyarakat konsumsi tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan fisik biologis semata, tetapi juga berkait dengan manfaat benda atau objek secara sosial budaya.
                Mary Douglas dan Baron Isherwood (dalam Lury, 1998:16) pun mengeluarkan pendapat yang poin-poinnya adalah 1). Konsumsi merupakan fenomena budaya, disamping sebagai fenomena ekonomi; 2). Benda-benda mempunyai makna selain  dari makna ekonomi atau untuk melakukan sesuatu; dan 3). Bahwa melalui perolehan, penggunaan, dan pertukaran benda-benda, individu kemudian mempunyai kehidupan sosial. Jadi dapat dipahami bahwa praktik konsumsi yang dilakukan masyarakat konsumsi dalam budaya konsumen adalah adalah praktik konsumsi dengan tujuan-tujuan mengkonsumsi nilai sosial dan bukan nilai guna barang. Nilai sosial tersebut dapat berupa kesan atau image dari benda yang dikonsumsi.
                Jean Baudrillard (dalam Ritzer, 2003:139) juga mengungkapkan bahwa pada akhirnya masyarakat konsumsi tidak membeli apa yang mereka butuhkan, namun membeli apa yang kode sampaikan pada mereka tentang apa yang seharusnya dibeli karena sistem memerlukannya. Sehingga konsumsi dalam masyarakat konsumsi bukan untuk mencari kenikmatan karena memperoleh dan menggunakan objek tersebut, tetapi lebih pada perbedaan yang menggiring mereka pada kondisi yang tidak pernah terpuaskan karena selalu berupaya membedakan diri dari orang lain dalam masyarakat tersebut berdasarkan makna sosial benda yang dikonsumsi.
                Dalam tulisannya yang dipublikasikan di majalah Sage, Baudrillard yang membahas  tentang masyarakat konsumen menyatakan bahwa manusia di abad berkelimpahan dikelilingi bukan oleh manusia-manusia lain, seperti di abad-abad lain, melainkan oleh objek-objek (Ritzer, 2003:137)
Konsumsi pada masyarakat modern akhirnya melahirkan budaya konsumen. Paham ini menggejala karena pengaruh ideologi ekonomi kapitalis yang di dalamnya kebudayaan diciptakan sebagai bagian dari logika pasar dan komoditi. Individu, system dan organisasi atau kelompok yang terjebak dalam ideology konsumerisme akan mengembangkan logika komoditi dan gaya hidup di dalam dirinya, terperangkap dalam konstruksi tanda-tanda, pencitraan dan symbol-simbol yang seirama dengan gerak produksi kapitalis.
Semua bentuk budaya yang terjadi sangat terkesan popular, instant dan berorientasi kesenangan sementara. Kondisi ini menyebabkan nilai-nilai dan ideologi yang berorientasi pada nilai esensial menjadi hilang dan diabaikan. Orang jadi enggan bicara hal yang filosofis tetapi sangat respon terhadap perubahan yang membawa pada kesenangan sementara. Hidup ini sebentar, nikmati saja! Inilah seolah yang menjadi slogan dalam budaya konsumen saat ini.
Dalam masyarakat konsumtif dan budaya popular, massa (manusia) diciptakan sebagai kelompok mayoritas yang pasif (mayoritas diam) dan berada di bawah kendali sekelompk elit saja. Yang bermain (aktif) dalam masyarakat adalah produser, kaum industry dan pemodal/kapitalis. Kelompok inilah yang mengendalikan massa diam tadi, termasuk menentukan identitas apa yang seharusnya mereka pakai. Dalam masyarakat ini nilai fungsi diabaikan digantikan dengan nilai-nilai status, simbol dan prestise yang dibangun atas dasar kuasa materi (uang atau hutang).
                Dengan demikian dapat dipahami mengapa akhirnya foto pre-wedding dapat dikatakan sebagai suatu objek yang menjadi kebutuhan dalam budaya konsumen, karena seperti di studio foto milik salah seorang teman saya di Bengkulu yang berdiri sejak November 2011 telah melayani 21 klien, 16 diantaranya melakukan sesi foto pre-wedding. Hasil dari sesi foto tersebut kemudian akan dicetak pada undangan, pada souvenir pernikahan, dan untuk dipajang pada lokasi resepsi, selain untuk dicetak di dalam album seperti biasa.
Selain moment kebersamaan pasangan calon pengantin yang terekam kamera dan dicetak untuk souvenir, undangan, atau untuk dipajang, dalam setiap petikan foto pre-wedding tersebut terdapat makna sosial atau kesan yang dapat dilihat dari pemilihan fotografer, penetapan konsep foto, pemilihan lokasi foto, make up artist, wardrobe, dan properti yang akan digunakan dalam sesi foto pre-wedding oleh pasangan yang melakukan sesi foto tersebut. Kesan antar pasangan yang melakukan sesi foto pre-wedding akan berbeda satu sama lain berdasarkan hal-hal tersebut di atas.
Misalnya saja berdasarkan jasa fotografer yang dipilih, kesan kaya akan muncul dari pasangan yang memilih jasa fotografer yang memasang tarif tinggi untuk paket foto pre-wedding yang ditawarkan dibandingkan pasangan yang memilih jasa fotografer yang memasang tarif rata-rata. Seperti yang terdapat di Bengkulu saat ini, dimana klien dari studio foto yang lain akan terkesan mapan secara finansial karena untuk paket pre-wedding saja, mereka akan dikenakan biaya sebesar Rp 8.000.000,00. Harga yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan studio milik teman saya tadi yang memasang tarif mulai dari Rp 300.000,00 hingga Rp 3.500.000,00.
Bisa juga berdasarkan konsep yang ditetapkan oleh pasangan tersebut, karena penetapan konsep akan mempengaruhi pemilihan lokasi, make up artist, wardrobe, dan properti yang digunakan. Kesan mahal yang muncul dari konsep foto pre-wedding romantic classic yang berlokasi di gedung-gedung tertentu yang mematok harga khusus untuk sesi foto pre-wedding, dengan make up dan wardrobe yang berpotongan simpel atau glamor namun tetap elegan, serta menggunakan properti yang dapat menguatkan kesan klasik seperti mobil dengan merk tertentu seperti jaguar tipe XK 120 tahun 1948 sudah pasti akan berbeda dengan pasangan yang memutuskan menggunakan konsep fun yang berlokasi di tepi pantai dengan make up minimalis dan hanya menggunakan t-shirt dan celana kargo sebagai wardrobenya, serta hampir tidak menggunakan properti lain sebagai penguat kesan ceria dan kasual yang ingin dimunculkan dari konsep tersebut.
Kesan yang berbeda tersebut sudah pasti akan makin terlihat antara pasangan yang melakukan foto ­pre-wedding dan yang tidak melakukan foto pre-wedding. Karena bila kita melihat kondisi masyarakat konsumsi yang ada saat ini, bisa saja mereka akan menganggap  pasangan yang tidak melakukan foto pre-wedding adalah pasangan yang tidak mampu secara finansial,tidak modern, tidak kreatif, atau menganggap mereka adalah orang yang ingin tampil beda karena memilih untuk tidak mengikuti trend yang sedang berkembang dan pasti akan menimbulkan tanda tanya dalam benak orang-orang di sekeliling mereka, terutama bila sesungguhnya mereka berasal dari kalangan orang-orang dengan kemampuan finansial yang cukup mapan.
Maka daripada itu, sekarang sesi foto pre-wedding tidak lagi sekadar kegiatan yang dilakukan untuk mengabadikan kebersamaan calon pengantin, namun juga menjadi praktik konsumsi yang tidak hanya bertujuan untuk mengkonsumsi nilai guna foto tersebut, tapi lebih kepada mengkonsumsi nilai sosial foto, khususnya kesan yang ditimbulkan dari keseluruhan prosesi foto hingga pencetakan, serta display hasil foto.

Penutup
                Fenomena sosial ekonomi yang berkenaan dengan budaya konsumen memang banyak terjadi di sekitar kita. Bahkan disadari atau tidak kita seringkali terlibat di dalamnya, karena pada saat ini menjadi penting bagi kita untuk menimbulkan kesan tertentu di hadapan orang lain untuk mempengaruhi mereka dalam memaknai diri kita atau untuk membuat mereka mengingat kita sebagai seseorang yang berbeda dari orang lainnya, seperti halnya yang ingin dimunculkan oleh pasangan-pasangan yang memilih untuk melakukan sesi foto pre-wedding dengan konsep yang berbeda dari pasangan-pasangan lainnya.
                Memang benar bahwa perkembangan masyarakat konsumsi dan budaya konsumen ini adalah hasil dari sistem ekonomi kapitalis yang lebih dulu berkembang dan terus melakukan inovasi untuk bertahan. Namun bukan berarti sistem kapitalis yang salah apabila kondisi masyarakat menjadi semakin bergantung pada makna, tanda, atau kode suatu benda yang merupakan produk dari sistem kapitalis, karena sesungguhnya kesalahan terbesar adalah disaat kita menyerahkan diri sepenuhnya pada sistem tersebut tanpa berupaya melakukan penyadaran akan apa yang sesungguhnya menjadi kebutuhan kita.

Daftar Bacaan
Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Kencana. Jakarta.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana. Yogyakarta.

2 komentar:

  1. aku suka tulisannya,,, keren

    iyahhh prewedding emang budaya konsumen dgn latar belakang mode..
    perempuan juga diharuskan menjadi cantik di dalam poto prewedding

    BalasHapus
  2. makasih :)
    aku cuma nyoba ngeliat dari sisi yg berbeda aja..
    :)

    BalasHapus