Oleh
: Ayu Wijayanti
Pendahuluan
Sesaat
setelah selesai kuliah Sosiologi Agama pada 21 April 2012 di Ruang Sidang
Antropologi, karena saat itu Ruang Sidang Sosiologi sedang digunakan untuk mata
kuliah Sosiologi Pedesaan, saya harus segera berpindah ke Gedung Dekanat untuk
mengikuti perkuliahan Manajemen dan Resolusi Konflik. Saat keluar dari ruangan
saya melihat sepasang calon pengantin sedang mengambil gambar untuk foto pre-wedding di koridor gedung jurusan,
namun sayangnya saya tidak sempat bertanya mereka alumni dari jurusan apa atau
angkatan tahun berapa. Sesi foto pre-wedding
tersebut tentu saja cukup menarik perhatian saya karena pemilihan gedung
dalam kampus masih tidak umum dilakukan oleh pasangan yang akan menikah.
Biasanya pasangan yang akan menikah memilih melakukan foto pre-wedding di dalam studio atau di daerah wisata dengan
pemandangan alam yang indah sebagai latar belakang foto. Maka sesi foto pre-wedding yang dilakukan di koridor
gedung jurusan tersebut membuat saya berinterpretasi bahwa pasangan yang akan
menikah tersebut meminta secara khusus kepada fotografer mereka untuk melakukan
sesi foto pre-wedding di lokasi yang
merupakan lokasi awal mereka bertemu.
Setelah
melihat sesi foto tersebut, saya jadi teringat teman-teman saya dan klien teman
saya yang memiliki studio foto di Bengkulu. Kebanyakan dari mereka memilih
melakukan sesi foto pre-wedding untuk
mengabadikan kebersamaan mereka sebelum menikah. Mengingat fenomena tersebut
yang sudah menggejala di lingkungan sekitar saya, saya kemudian mulai memahami
fenomena tersebut sudah menjadi trend bagi
pasangan yang akan menikah, dan bukan hanya menjadi fenomena ekonomi,
karena sudah jelas fenomena ini akan memberikan keuntungan bagi pihak yang
menyediakan jasa sebagai fotografer, namun juga menjadi fenomena sosial karena
pada akhirnya foto pre-wedding akan
menjadi sesuatu yang harus dikonsumsi oleh masyarakat kita untuk mendapatkan
makna sosial berupa kesan dari orang lain.
Berangkat
dari fenomena ini, secara sadar atau tidak, teman-teman dan masyarakat di
sekitar saya telah menjadi masyakarat konsumsi dalam budaya konsumen. Sehingga
pertanyaan mendasar dari tulisan ini adalah apa dan bagaimana sesungguhnya
masyarakat konsumsi dalam budaya konsumen dan bagaimana foto pre-wedding pada akhirnya menjadi salah
satu kebutuhan masyarakat konsumsi dalam budaya konsumen tersebut.
Pembahasan
Menurut
Don Sleater (dalam damsar, 2009:126)
konsumsi adalah tindakan manusia dalam
memenuhi kebutuhannya. Artinya konsumsi berkaitan dengan bagaimana manusia
memenuhi kebutuhan hidupnya dan terpuaskan atau menemui kepuasan hidup.
Tindakan-tindakan manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan pencapaian
kepuasan hidup itu berkaitan pula dengan material, symbol, jasa dan pengalaman.
Seluruh rangkaian inilah yang dimaknai sebagai tindakan konsumsi yang juga merupakan
suatu proses budaya. Kemudian dijelaskan pula oleh Lee, Lury, dan Featherson (dalam Damsar, 2009:126) bahwa konsumsi
benda-benda dalam masyarakat konsumsi tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan
fisik biologis semata, tetapi juga berkait dengan manfaat benda atau objek
secara sosial budaya.
Mary
Douglas dan Baron Isherwood (dalam Lury,
1998:16) pun mengeluarkan pendapat yang poin-poinnya adalah 1). Konsumsi
merupakan fenomena budaya, disamping sebagai fenomena ekonomi; 2). Benda-benda
mempunyai makna selain dari makna
ekonomi atau untuk melakukan sesuatu; dan 3). Bahwa melalui perolehan,
penggunaan, dan pertukaran benda-benda, individu kemudian mempunyai kehidupan
sosial. Jadi dapat dipahami bahwa praktik konsumsi yang dilakukan masyarakat
konsumsi dalam budaya konsumen adalah adalah praktik konsumsi dengan
tujuan-tujuan mengkonsumsi nilai sosial dan bukan nilai guna barang. Nilai
sosial tersebut dapat berupa kesan atau image
dari benda yang dikonsumsi.
Jean
Baudrillard (dalam Ritzer, 2003:139)
juga mengungkapkan bahwa pada akhirnya masyarakat konsumsi tidak membeli apa
yang mereka butuhkan, namun membeli apa yang kode sampaikan pada mereka tentang
apa yang seharusnya dibeli karena sistem memerlukannya. Sehingga konsumsi dalam
masyarakat konsumsi bukan untuk mencari kenikmatan karena memperoleh dan
menggunakan objek tersebut, tetapi lebih pada perbedaan yang menggiring mereka
pada kondisi yang tidak pernah terpuaskan karena selalu berupaya membedakan
diri dari orang lain dalam masyarakat tersebut berdasarkan makna sosial benda
yang dikonsumsi.
Dalam
tulisannya yang dipublikasikan di majalah Sage, Baudrillard yang membahas tentang masyarakat konsumen menyatakan bahwa
manusia di abad berkelimpahan dikelilingi bukan oleh manusia-manusia lain,
seperti di abad-abad lain, melainkan oleh objek-objek (Ritzer, 2003:137)
Konsumsi pada masyarakat modern
akhirnya melahirkan budaya konsumen. Paham ini menggejala karena pengaruh
ideologi ekonomi kapitalis yang di dalamnya kebudayaan diciptakan sebagai
bagian dari logika pasar dan komoditi. Individu, system dan organisasi atau
kelompok yang terjebak dalam ideology konsumerisme akan mengembangkan logika
komoditi dan gaya hidup di dalam dirinya, terperangkap dalam konstruksi
tanda-tanda, pencitraan dan symbol-simbol yang seirama dengan gerak produksi
kapitalis.
Semua bentuk budaya yang terjadi
sangat terkesan popular, instant dan berorientasi kesenangan sementara. Kondisi
ini menyebabkan nilai-nilai dan ideologi yang berorientasi pada nilai esensial
menjadi hilang dan diabaikan. Orang jadi enggan bicara hal yang filosofis
tetapi sangat respon terhadap perubahan yang membawa pada kesenangan sementara.
Hidup ini sebentar, nikmati saja! Inilah seolah yang menjadi slogan dalam
budaya konsumen saat ini.
Dalam masyarakat konsumtif dan budaya
popular, massa (manusia) diciptakan sebagai kelompok mayoritas yang pasif
(mayoritas diam) dan berada di bawah kendali sekelompk elit saja. Yang bermain
(aktif) dalam masyarakat adalah produser, kaum industry dan pemodal/kapitalis.
Kelompok inilah yang mengendalikan massa diam tadi, termasuk menentukan
identitas apa yang seharusnya mereka pakai. Dalam masyarakat ini nilai fungsi
diabaikan digantikan dengan nilai-nilai status, simbol dan prestise yang
dibangun atas dasar kuasa materi (uang atau hutang).
Dengan
demikian dapat dipahami mengapa akhirnya foto pre-wedding dapat dikatakan sebagai suatu objek yang menjadi
kebutuhan dalam budaya konsumen, karena seperti di studio foto milik
salah seorang teman saya di Bengkulu yang berdiri sejak November 2011 telah
melayani 21 klien, 16 diantaranya melakukan sesi foto pre-wedding. Hasil dari sesi foto tersebut kemudian akan dicetak
pada undangan, pada souvenir pernikahan, dan untuk dipajang pada lokasi
resepsi, selain untuk dicetak di dalam album seperti biasa.
Selain moment kebersamaan pasangan
calon pengantin yang terekam kamera dan dicetak untuk souvenir, undangan, atau
untuk dipajang, dalam setiap petikan foto pre-wedding
tersebut terdapat makna sosial atau kesan yang dapat dilihat dari pemilihan
fotografer, penetapan konsep foto, pemilihan lokasi foto, make up artist, wardrobe, dan properti yang akan digunakan dalam
sesi foto pre-wedding oleh pasangan
yang melakukan sesi foto tersebut. Kesan antar pasangan yang melakukan sesi
foto pre-wedding akan berbeda satu
sama lain berdasarkan hal-hal tersebut di atas.
Misalnya saja berdasarkan jasa
fotografer yang dipilih, kesan kaya akan muncul dari pasangan yang memilih jasa
fotografer yang memasang tarif tinggi untuk paket foto pre-wedding yang ditawarkan dibandingkan pasangan yang memilih jasa
fotografer yang memasang tarif rata-rata. Seperti yang terdapat di Bengkulu
saat ini, dimana klien dari studio foto yang lain akan terkesan mapan secara
finansial karena untuk paket pre-wedding saja,
mereka akan dikenakan biaya sebesar Rp 8.000.000,00. Harga yang cukup tinggi
bila dibandingkan dengan studio milik teman saya tadi yang
memasang tarif mulai dari Rp 300.000,00 hingga Rp 3.500.000,00.
Bisa juga berdasarkan konsep yang
ditetapkan oleh pasangan tersebut, karena penetapan konsep akan mempengaruhi
pemilihan lokasi, make up artist,
wardrobe, dan properti yang digunakan. Kesan mahal yang muncul dari konsep
foto pre-wedding romantic classic yang
berlokasi di gedung-gedung tertentu yang mematok harga khusus untuk sesi foto pre-wedding, dengan make up dan wardrobe yang
berpotongan simpel atau glamor namun tetap elegan, serta menggunakan properti
yang dapat menguatkan kesan klasik seperti mobil dengan merk tertentu seperti
jaguar tipe XK 120 tahun 1948 sudah pasti akan berbeda dengan pasangan yang
memutuskan menggunakan konsep fun yang
berlokasi di tepi pantai dengan make up minimalis
dan hanya menggunakan t-shirt dan
celana kargo sebagai wardrobenya,
serta hampir tidak menggunakan properti lain sebagai penguat kesan ceria dan
kasual yang ingin dimunculkan dari konsep tersebut.
Kesan yang berbeda tersebut sudah
pasti akan makin terlihat antara pasangan yang melakukan foto pre-wedding dan yang tidak melakukan
foto pre-wedding. Karena bila kita
melihat kondisi masyarakat konsumsi yang ada saat ini, bisa saja mereka akan
menganggap pasangan yang tidak melakukan
foto pre-wedding adalah pasangan yang
tidak mampu secara finansial,tidak modern, tidak kreatif, atau menganggap
mereka adalah orang yang ingin tampil beda karena memilih untuk tidak mengikuti
trend yang sedang berkembang dan pasti akan menimbulkan tanda tanya dalam benak
orang-orang di sekeliling mereka, terutama bila sesungguhnya mereka berasal
dari kalangan orang-orang dengan kemampuan finansial yang cukup mapan.
Maka daripada itu, sekarang sesi foto pre-wedding tidak lagi sekadar kegiatan yang
dilakukan untuk mengabadikan kebersamaan calon pengantin, namun juga menjadi
praktik konsumsi yang tidak hanya bertujuan untuk mengkonsumsi nilai guna foto
tersebut, tapi lebih kepada mengkonsumsi nilai sosial foto, khususnya kesan
yang ditimbulkan dari keseluruhan prosesi foto hingga pencetakan, serta display hasil foto.
Penutup
Fenomena
sosial ekonomi yang berkenaan dengan budaya konsumen memang banyak terjadi di
sekitar kita. Bahkan disadari atau tidak kita seringkali terlibat di dalamnya,
karena pada saat ini menjadi penting bagi kita untuk menimbulkan kesan tertentu
di hadapan orang lain untuk mempengaruhi mereka dalam memaknai diri kita atau
untuk membuat mereka mengingat kita sebagai seseorang yang berbeda dari orang
lainnya, seperti halnya yang ingin dimunculkan oleh pasangan-pasangan yang
memilih untuk melakukan sesi foto pre-wedding
dengan konsep yang berbeda dari pasangan-pasangan lainnya.
Memang
benar bahwa perkembangan masyarakat konsumsi dan budaya konsumen ini adalah
hasil dari sistem ekonomi kapitalis yang lebih dulu berkembang dan terus
melakukan inovasi untuk bertahan. Namun bukan berarti sistem kapitalis yang salah
apabila kondisi masyarakat menjadi semakin bergantung pada makna, tanda, atau
kode suatu benda yang merupakan produk dari sistem kapitalis, karena
sesungguhnya kesalahan terbesar adalah disaat kita menyerahkan diri sepenuhnya
pada sistem tersebut tanpa berupaya melakukan penyadaran akan apa yang
sesungguhnya menjadi kebutuhan kita.
Daftar
Bacaan
Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Kencana. Jakarta.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana. Yogyakarta.
aku suka tulisannya,,, keren
BalasHapusiyahhh prewedding emang budaya konsumen dgn latar belakang mode..
perempuan juga diharuskan menjadi cantik di dalam poto prewedding
makasih :)
BalasHapusaku cuma nyoba ngeliat dari sisi yg berbeda aja..
:)