Foto saya
Bengkulu, Indonesia
a lover..

Sabtu, 16 Juni 2012

BUDAYA KONSUMEN DAN GAYA HIDUP


Sebelum berbicara mengenai budaya konsumen dan gaya hidup, terlebih dahulu kita harus juga memahami konsumsi yang merupakan suatu kegiatan utama dalam budaya konsumen dan gaya hidup tersebut, yang merupakan konsekuensi dari modernitas terhadap kehidupan sosial. Menurut Don Slater (Damsar,2009), konsumsi  adalah tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Artinya konsumsi berkaitan dengan bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dan terpuaskan atau menemui kepuasan hidup. Tindakan-tindakan manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan pencapaian kepuasan hidup itu berkaitan pula dengan material, simbol, jasa dan pengalaman. Seluruh rangkaian inilah yang dimaknai sebagai tindakan konsumsi.
Bagi Marx, konsumsi  adalah perluasan kekuatan produksi yang diorganisir. Jadi konsumen dari sebuah produk adalah objek yang diorganisir oleh tatanan produksi. Konsumsi juga dimaknai sebagai sistem makna yang menjadi pembeda antara seseorang dengan orang lain. Contohnya ketika seseorang memilih mengkonsumsi ayam goreng di KFC di banding ayam goreng di pinggir jalan. Pilihan itu mengandung makna dan menggambarkan sebuah fenomena sosial tertentu.
Sementara bagi Weber, konsumsi merupakan tindakan manusia yang dilandasi oleh rasionalitas.  Jadi secara umum, konsumsi juga dipandang sebagai suatu proses budaya yang tercermin dalam aktifitas, tindakan , prilaku, perbuatan sosial yang mencirikan kehidupan seseorang (identitas). Pengertian ini dikonstruksi dari konsep yang dikemukakan oleh beberapa ahli sosiologi ekonomi;  Don Slater, Karl Marx, Max Weber, dan Thorstein Veblein. (Damsar, 2009)
Selanjutnya menurut Piliang (2011), konsumsi dapat dimaknai sebagai sebuah proses objektifikasi, yaitu proses eksternalisasi atau internalisasi diri lewat objek-objek sebagai medianya. Maksudnya, bagaimana kita memahami dan mengkonseptualisasikan diri maupun realitas di sekitar kita melalui objek-objek material. Disini terjadi proses menciptakan nilai-nilai melalui objek-objek dan kemudian memberikan pengakuan serta penginternalisasian nilai-nilai tersebut.
Definisi tersebut memberi frame bagi kita dalam memahami alasan mengapa orang terus menerus berkonsumsi. Objek-objek konsumsi telah menjadi bagian yang internal pada kedirian seseorang. Sehingga sangat berpengaruh dalam pembentukan dan pemahaman konsep diri. Hal ini senada dengan pemikiran Baudrillard yang menyatakan bahwa konsumsi adalah satu cara penting yang digunakan orang dalam rangka melakukan komunikasi satu sama lain (Baudrillard, 2004).
Setelah memahami beberapa pengertian dan makna yang berkaitan dengan konsumsi dari beberapa ahli tersebut, dapat dijelaskan bahwa dengan kegiatan konsumsi yang demikian maka terbentuklah suatu tatanan masyarakat konsumsi yang senantiasa melakukan tindakan konsumsi bukan hanya pada benda, namun juga pada makna hingga pada akhirnya menciptakan sebuah budaya konsumen dengan menjadikan gaya hidup sebagai muaranya.
Masyarakat konsumsi pada hakikatnya berbeda dengan masyarakat konsumtif yang lebih cenderung melakukan tindakan konsumsi hanya  untuk bersenang-senang atau menghamburkan kekayaan. Karena masyarakat konsumsi merupakan masyarakat yang semua tindakan konsumsinya mengutamakan sebuah makna atau kesan untuk kehidupan sosialnya dari tindakan tersebut.
Ritzer (2004) mengungkapkan bahwa dalam masyarakat konsumen yang dikontrol oleh kode, hubungan manusia ditransformasikan dalam hubungan dengan objek, terutama konsumsi objek. Selanjutnya Baudrillard (2004) pun menjelaskan dalam masyarakat konsumsi saat ini, mereka mengonsumsi bukan hanya barang, namun juga jasa manusia dan hubungan antar manusia, sehingga yang dikonsumsi dalam masyarakat konsumsi adalah konsumsi itu sendiri, dimana dapat dicontohkan ketika orang menonton atau membaca iklan, mereka tengah mengonsumsi konsumsi.
Dengan demikian, Lury (1998) menganggap budaya konsumen adalah suatu kondisi dimana konsumsi merupakan proses budaya, atau bagi Don Slater budaya konsumen merupakan kegiatan konsumsi komoditas yang bermakna, seperti yang dikemukakan oleh Weber,  bahwa consumption is a meaningful activity.
Sehingga Featherstone kemudian berkeyakinan budaya konsumen tidak lantas membicarakan suatu penilaian tentang sifat konsumen yang pasif untuk dapat digiring dan diatur, melainkan budaya konsumen membuka kemungkinan atas tindakan konsumsi produktif, dalam arti menjanjikan kehidupan pribadi yang indah dan memuaskan atau menemukan kepribadian melalui perubahan diri dan gaya hidup. Budaya konsumen pun merupakan unsur utama dalam produksi budaya masa kini, karena meskipun ada perilaku yang mencoba melawan arus dari kelompok-kelompok baru tertentu, dinamika dalam proses pasar yang selalu mengejar yang baru tersebut menyebabkan budaya konsumen dapat merajut dan mengolah ulang tradisi dan gaya hidup mutakhir ( Evers, 1988).
Karena itu budaya konsumen berpijak pada produksi tanda terus menerus, melimpahnya makna yang mengancam pemusnahan makna, dan mengingat keinginannya untuk meloloskan semua makna budaya lewat penyaringannya, maka semua perjuangan sosial sampai batas tertentu berarti perjuangan memperebutkan tanda itu. Maka dalam memahami budaya konsumen, Mary Douglass dan Baron Isherwood (Lury, 1998) berpendapat bahwa 1). Konsumsi merupakan fenomena budaya, disamping sebagai fenomena ekonomi; 2). Benda-benda mempunyai makna selain dari makna ekonomi atau untuk melakukan sesuatu; dan 3). Konsumsi (perolehan, penggunaan, dan pertukaran) benda-benda digunakan untuk kehidupan sosial.
Featherstone (Evers, 1988) kemudian memperjelas budaya konsumen dengan menjelaskan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, yaitu :
1.    Dibanjiri tanda dan berbagai kesan, dimana barang  menjadi terlihat lebih bagus dari yang sebenarnya karena mengalami manipulasi kesan di rak display dan logika pemajangan tersebut menghasilkan suatu barang yang memiliki makna, sehingga membeli barang kemudian berarti membeli kesan dan pengalaman, dan kegiatan berbelanja bukan lagi suatu transaksi ekonomi sederhana, melainkan lebih merupakan interaksi simbolis karena individu membeli dan mengonsumsi kesan. Tindak membeli itu sendiri mungkin tergeser pula karena individu didorong untuk menikmati konsumsi gaya hidup yang sadar akan penampilan dan kesan sewaktu membeli suatu barang atau pengalaman.
2.    Kesan memegang peranan utama, yang dijelaskan melalui banyaknya makna baru pada suatu barang karena kesan terus menerus diproses ulang, dan makna barang dan pengalaman terus didefinisikan kembali melalui display atau iklan yang digembar-gemborkan oleh media massa.
3.    Perilaku konsumsi sehari-hari tidak begitu saja dinamakan materialis, karena perilaku konsumsi tidak berarti menyerap komoditi produksi massa secara pasif dan mengikuti arus, namun ditekankan pada penciptaan kesan gaya yang dapat menyingkapkan individualitas pemiliknya, seperti perencanaan, pembelian, peragaan, dan perawatan yang disusun sedemikian rupa sehingga melahirkan keseluruhan yang ekspresif dan bergaya. Karena individu mengetahui bahwa inti budaya konsumen adalah kesan dan asosiasi makna simbolis, dimana individu tidak hanya berkomunikasi melalui pakaian dan penampilannya, namun juga melalui semua barang dan perilaku yang ada padanya.
Gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern. Maksudnya adalah siapa pun yang hidup dalam masyarakat modern akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain. Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lainnya. Pola-pola kehidupan sosial yang khusus seringkali disederhanakan dengan istilah budaya. Sementara itu, gaya hidup tergantung pada bentuk-bentuk kultural, tata krama, cara menggunakan barang-barang, tempat dan waktu tertentu yang merupakan karakteristik suatu kelompok.
Tatanan sosial modern membutuhkan perlengkapan yang kompleks. Itulah mengapa saat ini banyak disebut bahwa kebutuhan manusia semakin kompleks. Bukti lain ditunjukan dengan gedung-gedung serba guna yang memudahkan manusia memenuhi kebutuhannya dalam sekali waktu. Seperti mall yang menjual kebutuhan rumah tangga dan lainnya. Tatanan sosial ini membentuk gagasan tentang kelas atas atau elit yang digunakan untuk menunjuk mereka yang memiliki kemampuan melanggengkan hak-hak istimewa mereka melalui ruang dan waktu. Hal tersebut mengikuti Weber yaitu antara status sebagai lawan dari kelas, untuk menunjukan perhatian terhadap perbedaan sosial yang berasal dari cara penggunaan sumber daya ketimbang cara mengghasilkannya (Chaney, 2009).
Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat dikatakan bahwa kemudian dalam bahasan budaya konsumen, para ahli sosiologi lebih memberikan perhatian kepada gaya hidup, konsumsi sebagai rekreasi, dan konsumsi sebagai realitas simbolis. Dimana dalam gaya hidup yang diperhatikan adalah orang bergaya dalam kehidupan sosialnya dengan menampilkan keindahan, keanggunan atau kemaskulinan mereka. Sedangkan untuk konsumsi sebagai rekreasi, memperhatikan bagaimana pasar pada saat ini dijadikan tempat rekreasi yang kemudian memunculkan konsep katedralisasi mall sehingga mall pada saat ini diperlakukan sebagai hal yang khusus. Sementara dalam melihat konsumsi sebagai realitas simbolis dengan memperhatikan adanya konsumsi dengan tujuan komunikasi, yang mengkomunikasikan batas-batas kelas dan komunikasi etnisitas.
 Contoh dari realitas masyarakat konsumsi yang pada akhirnya menciptakan budaya konsumen dengan gaya hidup sebagai muaranya bisa digambarkan dengan  saat orang makan di kafe yang ada di mall, bukan lagi mengejar cita-rasa makanan kafe yang enak dan mengenyangkan, namun karena kafe itu menjual tanda kehollywoodan, dan kehollywoodan sendiri adalah gaya hidup yang saat ini merupakan referensi individu dalam menentukan suatu plihan atau bertindak dengan menjadikan artis hollywood sebagai referensinya.  Atau orang akan memilih memakai pakaian dengan brand Versace, Ralph Lauren, atau Marc Jacobs daripada penjahit biasa di pasar. Adapula yang lebih memilih menggunakan sepatu dengan merk Manolo Blahnik, Jimmy Choo, atau Balenciaga daripada sepatu-sepatu yang dijual di  pasar biasa. Bahkan adapula orang yang memilih menggunakan underwear dengan merk Ultimo, Victoria Secret, atau Lane Bryant. Padahal, apabila dilihat dari pemenuhan kebutuhan, merk tertentu dengan merk yang banyak di pasaran adalah sama saja, sama-sama mengenyangkan, sama-sama melindungi tubuh dari cuaca panas atau dingin, sama-sama melindungi kaki, dan sama-sama menutup alat vital individu.
Selanjutnya, budaya konsumen yang berkembang saat ini dapat  ditinjau melalui perspektif teori struktural fungsional, dimana pada akhirnya benda-benda materi mempunyai kekuatan untuk menyatukan hubungan antar manusia yang memiliki asosiasi-asosiasi yang sama. Dapat pula dikaitkan dengan teori struktural konflik dimana kepemilikan benda-benda materi oleh individu atau sekelompok orang akan menimbulkan perbedaan kelas yang akhirnya akan menimbulkan social problem berupa pertentangan-pertentangan antar kelas tersebut.  sementara bila diamati dengan dasar teori pertukaran maka penjelasannya adalah manusia merupakan makluk sosial yang memiliki keterbatasan untuk mendapatkan satu barang atau jasa, oleh karena itu untuk menjaga keseimbanganindividu atau kelompok, pertukaran ekonomi dan sosial menjadi katup penyelamat.

Daftar Bacaan
Berger, L Peter. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. LP3ES. Jakarta.
Chaney, David. 2009. Lifestyle atau Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif. Terj. Nuraeni. Yogyakarta: Jalasutra.
Damsar.  2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Kencana. Jakarta.
Evers, Hans Dieter. 1988. Teori Masyarakat. Yayasan Obor. Jakarta.
Fukuyama, Francis. 2002. Trust. Qalam. Yogyakarta.
Jones, Pit. 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial. Yayasan Obor. Jakarta.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat. Matahari. Bandung.
Ritzer, George dan J.Goodman.Douglas. 2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta.
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana. Yogyakarta.  
Baudrillard, Jean P. diterjemahkan oleh Wahyunto. Masyarakat Konsumsi. 2004. Yogayakarta: Kreasi Wacana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar