Sebelum berbicara mengenai
budaya konsumen dan gaya hidup, terlebih dahulu kita harus juga memahami
konsumsi yang merupakan suatu kegiatan utama dalam budaya konsumen dan gaya
hidup tersebut, yang merupakan konsekuensi dari modernitas terhadap kehidupan
sosial. Menurut Don Slater (Damsar,2009), konsumsi adalah tindakan manusia dalam memenuhi
kebutuhannya. Artinya konsumsi berkaitan dengan bagaimana manusia memenuhi
kebutuhan hidupnya dan terpuaskan atau menemui kepuasan hidup.
Tindakan-tindakan manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan pencapaian
kepuasan hidup itu berkaitan pula dengan material, simbol, jasa dan pengalaman.
Seluruh rangkaian inilah yang dimaknai sebagai tindakan konsumsi.
Bagi Marx, konsumsi adalah perluasan kekuatan produksi yang diorganisir.
Jadi konsumen dari sebuah produk adalah objek yang diorganisir oleh tatanan
produksi. Konsumsi juga dimaknai sebagai sistem makna yang menjadi pembeda
antara seseorang dengan orang lain. Contohnya ketika seseorang memilih
mengkonsumsi ayam goreng di KFC di banding ayam goreng di pinggir jalan.
Pilihan itu mengandung makna dan menggambarkan sebuah fenomena sosial tertentu.
Sementara bagi Weber,
konsumsi merupakan tindakan manusia yang dilandasi oleh rasionalitas. Jadi secara umum, konsumsi juga dipandang
sebagai suatu proses budaya yang tercermin dalam aktifitas, tindakan , prilaku,
perbuatan sosial yang mencirikan kehidupan seseorang (identitas). Pengertian
ini dikonstruksi dari konsep yang dikemukakan oleh beberapa ahli sosiologi
ekonomi; Don Slater, Karl Marx, Max
Weber, dan Thorstein Veblein. (Damsar, 2009)
Selanjutnya menurut Piliang
(2011), konsumsi dapat dimaknai sebagai
sebuah proses objektifikasi, yaitu proses eksternalisasi atau internalisasi
diri lewat objek-objek sebagai medianya. Maksudnya, bagaimana kita memahami dan
mengkonseptualisasikan diri maupun realitas di sekitar kita melalui objek-objek
material. Disini terjadi proses menciptakan nilai-nilai melalui objek-objek dan
kemudian memberikan pengakuan serta penginternalisasian nilai-nilai tersebut.
Definisi tersebut memberi frame bagi kita dalam memahami alasan mengapa orang terus menerus
berkonsumsi. Objek-objek konsumsi telah menjadi bagian yang internal pada
kedirian seseorang. Sehingga sangat berpengaruh dalam pembentukan
dan pemahaman konsep diri.
Hal ini senada dengan pemikiran Baudrillard yang menyatakan bahwa konsumsi
adalah satu cara penting yang digunakan orang dalam rangka melakukan komunikasi
satu sama lain (Baudrillard, 2004).
Setelah memahami beberapa
pengertian dan makna yang berkaitan dengan konsumsi dari beberapa ahli
tersebut, dapat dijelaskan bahwa dengan kegiatan konsumsi yang demikian maka
terbentuklah suatu tatanan masyarakat konsumsi yang senantiasa melakukan
tindakan konsumsi bukan hanya pada benda, namun juga pada makna hingga pada
akhirnya menciptakan sebuah budaya konsumen dengan menjadikan gaya hidup
sebagai muaranya.
Masyarakat konsumsi pada
hakikatnya berbeda dengan masyarakat konsumtif yang lebih cenderung melakukan
tindakan konsumsi hanya untuk
bersenang-senang atau menghamburkan kekayaan. Karena masyarakat konsumsi
merupakan masyarakat yang semua tindakan konsumsinya mengutamakan sebuah makna
atau kesan untuk kehidupan sosialnya dari tindakan tersebut.
Ritzer (2004)
mengungkapkan bahwa dalam masyarakat konsumen yang dikontrol oleh kode,
hubungan manusia ditransformasikan dalam hubungan dengan objek, terutama
konsumsi objek. Selanjutnya Baudrillard (2004) pun menjelaskan dalam masyarakat
konsumsi saat ini, mereka mengonsumsi bukan hanya barang, namun juga jasa
manusia dan hubungan antar manusia, sehingga yang dikonsumsi dalam masyarakat
konsumsi adalah konsumsi itu sendiri, dimana dapat dicontohkan ketika orang
menonton atau membaca iklan, mereka tengah mengonsumsi konsumsi.
Dengan demikian, Lury
(1998) menganggap budaya konsumen adalah suatu kondisi dimana konsumsi
merupakan proses budaya, atau bagi Don Slater budaya konsumen merupakan
kegiatan konsumsi komoditas yang bermakna, seperti yang dikemukakan oleh
Weber, bahwa consumption is a meaningful activity.
Sehingga Featherstone
kemudian berkeyakinan budaya konsumen tidak lantas membicarakan suatu penilaian
tentang sifat konsumen yang pasif untuk dapat digiring dan diatur, melainkan
budaya konsumen membuka kemungkinan atas tindakan konsumsi produktif, dalam
arti menjanjikan kehidupan pribadi yang indah dan memuaskan atau menemukan
kepribadian melalui perubahan diri dan gaya hidup. Budaya konsumen pun
merupakan unsur utama dalam produksi budaya masa kini, karena meskipun ada
perilaku yang mencoba melawan arus dari kelompok-kelompok baru tertentu,
dinamika dalam proses pasar yang selalu mengejar yang baru tersebut menyebabkan
budaya konsumen dapat merajut dan mengolah ulang tradisi dan gaya hidup
mutakhir ( Evers, 1988).
Karena itu budaya konsumen
berpijak pada produksi tanda terus menerus, melimpahnya makna yang mengancam
pemusnahan makna, dan mengingat keinginannya untuk meloloskan semua makna
budaya lewat penyaringannya, maka semua perjuangan sosial sampai batas tertentu
berarti perjuangan memperebutkan tanda itu. Maka dalam memahami budaya
konsumen, Mary Douglass dan Baron Isherwood (Lury, 1998) berpendapat bahwa 1).
Konsumsi merupakan fenomena budaya, disamping sebagai fenomena ekonomi; 2).
Benda-benda mempunyai makna selain dari makna ekonomi atau untuk melakukan
sesuatu; dan 3). Konsumsi (perolehan, penggunaan, dan pertukaran) benda-benda
digunakan untuk kehidupan sosial.
Featherstone (Evers, 1988)
kemudian memperjelas budaya konsumen dengan menjelaskan unsur-unsur yang
terdapat di dalamnya, yaitu :
1.
Dibanjiri
tanda dan berbagai kesan, dimana barang
menjadi terlihat lebih bagus dari yang sebenarnya karena mengalami
manipulasi kesan di rak display dan
logika pemajangan tersebut menghasilkan suatu barang yang memiliki makna,
sehingga membeli barang kemudian berarti membeli kesan dan pengalaman, dan
kegiatan berbelanja bukan lagi suatu transaksi ekonomi sederhana, melainkan
lebih merupakan interaksi simbolis karena individu membeli dan mengonsumsi
kesan. Tindak membeli itu sendiri mungkin tergeser pula karena individu
didorong untuk menikmati konsumsi gaya hidup yang sadar akan penampilan dan
kesan sewaktu membeli suatu barang atau pengalaman.
2. Kesan memegang peranan utama, yang dijelaskan melalui banyaknya makna baru pada suatu barang karena kesan terus menerus diproses ulang, dan makna barang dan pengalaman terus didefinisikan kembali melalui display atau iklan yang digembar-gemborkan oleh media massa.
3. Perilaku konsumsi sehari-hari tidak begitu saja dinamakan materialis, karena perilaku konsumsi tidak berarti menyerap komoditi produksi massa secara pasif dan mengikuti arus, namun ditekankan pada penciptaan kesan gaya yang dapat menyingkapkan individualitas pemiliknya, seperti perencanaan, pembelian, peragaan, dan perawatan yang disusun sedemikian rupa sehingga melahirkan keseluruhan yang ekspresif dan bergaya. Karena individu mengetahui bahwa inti budaya konsumen adalah kesan dan asosiasi makna simbolis, dimana individu tidak hanya berkomunikasi melalui pakaian dan penampilannya, namun juga melalui semua barang dan perilaku yang ada padanya.
2. Kesan memegang peranan utama, yang dijelaskan melalui banyaknya makna baru pada suatu barang karena kesan terus menerus diproses ulang, dan makna barang dan pengalaman terus didefinisikan kembali melalui display atau iklan yang digembar-gemborkan oleh media massa.
3. Perilaku konsumsi sehari-hari tidak begitu saja dinamakan materialis, karena perilaku konsumsi tidak berarti menyerap komoditi produksi massa secara pasif dan mengikuti arus, namun ditekankan pada penciptaan kesan gaya yang dapat menyingkapkan individualitas pemiliknya, seperti perencanaan, pembelian, peragaan, dan perawatan yang disusun sedemikian rupa sehingga melahirkan keseluruhan yang ekspresif dan bergaya. Karena individu mengetahui bahwa inti budaya konsumen adalah kesan dan asosiasi makna simbolis, dimana individu tidak hanya berkomunikasi melalui pakaian dan penampilannya, namun juga melalui semua barang dan perilaku yang ada padanya.
Gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia
modern. Maksudnya adalah siapa pun yang hidup dalam masyarakat modern akan
menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri
maupun orang lain. Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara
satu orang dengan orang lainnya. Pola-pola kehidupan sosial yang khusus
seringkali disederhanakan dengan istilah budaya. Sementara itu, gaya hidup
tergantung pada bentuk-bentuk kultural, tata krama, cara menggunakan
barang-barang, tempat dan waktu tertentu yang merupakan karakteristik suatu
kelompok.
Tatanan sosial modern membutuhkan
perlengkapan yang kompleks. Itulah mengapa saat ini banyak disebut bahwa kebutuhan
manusia semakin kompleks. Bukti lain ditunjukan dengan gedung-gedung serba guna
yang memudahkan manusia memenuhi kebutuhannya dalam sekali waktu. Seperti mall
yang menjual kebutuhan rumah tangga dan lainnya. Tatanan sosial ini membentuk
gagasan tentang kelas atas atau elit yang digunakan untuk menunjuk mereka yang
memiliki kemampuan melanggengkan hak-hak istimewa mereka melalui ruang dan
waktu. Hal tersebut mengikuti Weber yaitu antara status sebagai lawan dari
kelas, untuk menunjukan perhatian terhadap perbedaan sosial yang berasal dari
cara penggunaan sumber daya ketimbang cara mengghasilkannya (Chaney, 2009).
Berdasarkan pemikiran
tersebut, dapat dikatakan bahwa kemudian dalam bahasan budaya konsumen, para
ahli sosiologi lebih memberikan perhatian kepada gaya hidup, konsumsi sebagai
rekreasi, dan konsumsi sebagai realitas simbolis. Dimana dalam gaya hidup yang
diperhatikan adalah orang bergaya dalam kehidupan sosialnya dengan menampilkan
keindahan, keanggunan atau kemaskulinan mereka. Sedangkan untuk konsumsi
sebagai rekreasi, memperhatikan bagaimana pasar pada saat ini dijadikan tempat
rekreasi yang kemudian memunculkan konsep katedralisasi mall sehingga mall pada
saat ini diperlakukan sebagai hal yang khusus. Sementara dalam melihat konsumsi
sebagai realitas simbolis dengan memperhatikan adanya konsumsi dengan tujuan
komunikasi, yang mengkomunikasikan batas-batas kelas dan komunikasi etnisitas.
Contoh dari realitas
masyarakat konsumsi yang pada akhirnya menciptakan budaya konsumen dengan gaya
hidup sebagai muaranya bisa digambarkan dengan saat
orang makan di kafe
yang ada di mall, bukan lagi mengejar cita-rasa makanan kafe yang enak dan
mengenyangkan, namun karena kafe itu menjual tanda kehollywoodan, dan
kehollywoodan sendiri adalah gaya hidup yang saat ini merupakan referensi
individu dalam menentukan suatu plihan atau bertindak dengan menjadikan artis
hollywood sebagai referensinya. Atau orang
akan memilih memakai pakaian dengan brand
Versace, Ralph Lauren, atau Marc Jacobs daripada penjahit biasa di pasar. Adapula
yang lebih memilih menggunakan sepatu dengan merk Manolo Blahnik, Jimmy Choo,
atau Balenciaga daripada sepatu-sepatu yang dijual di pasar biasa. Bahkan adapula orang yang
memilih menggunakan underwear dengan
merk Ultimo, Victoria Secret, atau Lane Bryant. Padahal, apabila dilihat dari
pemenuhan kebutuhan, merk tertentu dengan merk yang banyak di pasaran adalah
sama saja, sama-sama mengenyangkan, sama-sama melindungi tubuh dari cuaca panas
atau dingin, sama-sama melindungi kaki, dan sama-sama menutup alat vital
individu.
Selanjutnya, budaya konsumen yang berkembang saat ini dapat ditinjau melalui perspektif teori struktural fungsional, dimana pada akhirnya benda-benda materi mempunyai kekuatan untuk menyatukan hubungan antar manusia yang memiliki asosiasi-asosiasi yang sama. Dapat pula dikaitkan dengan teori struktural konflik dimana kepemilikan benda-benda materi oleh individu atau sekelompok orang akan menimbulkan perbedaan kelas yang akhirnya akan menimbulkan social problem berupa pertentangan-pertentangan antar kelas tersebut. sementara bila diamati dengan dasar teori pertukaran maka penjelasannya adalah manusia merupakan makluk sosial yang memiliki keterbatasan untuk mendapatkan satu barang atau jasa, oleh karena itu untuk menjaga keseimbanganindividu atau kelompok, pertukaran ekonomi dan sosial menjadi katup penyelamat.
Daftar Bacaan
Berger, L Peter. 1990. Tafsir Sosial
Atas Kenyataan. LP3ES. Jakarta.
Chaney,
David. 2009. Lifestyle atau Lifestyle:
Sebuah Pengantar Komprehensif. Terj. Nuraeni. Yogyakarta:
Jalasutra.
Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Kencana. Jakarta.
Evers, Hans Dieter. 1988. Teori
Masyarakat. Yayasan Obor. Jakarta.
Fukuyama, Francis. 2002. Trust. Qalam.
Yogyakarta.
Jones, Pit. 2010. Pengantar
Teori-Teori Sosial. Yayasan Obor. Jakarta.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat. Matahari. Bandung.
Ritzer, George dan J.Goodman.Douglas.
2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta.
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial
Postmodern. Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Baudrillard,
Jean P. diterjemahkan oleh Wahyunto. Masyarakat Konsumsi. 2004. Yogayakarta: Kreasi
Wacana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar