SEKULERISME DAN ATEISME
Oleh : Ayu Wijayanti
Sekularisme
merupakan sebuah ideologi yang pada mulanya berkembang di dunia Barat dan
menyebar hampir ke seluruh penjuru Dunia tak terkecuali dunia islam. Paham ini
bertujuan memisahkan urusan manusia dengan urusan Tuhan. Karena bila melacak sejarah bangsa Eropa, sekularisme
muncul sebagai akibat dari tindakan gereja yang mengungkung dan menyekat
perkembangan ilmu pengetahuan. Pihak gereja Eropa telah menghukum ahli sains
seperti Copernicus, Gradano, Galileo dan lainnya yang mengutarakan penemuan
saintifik yang berlawanan dengan ajaran gereja yang sebenarnya juga telah
banyak mengalami perubahan dari ajaran Kristen sesungguhnya. Kemunculan paham
ini juga disebabkan tindakan pihak gereja yang mengadakan upacara agama yang
dianggap berlawanan dengan nilai pemikiran dan moral seperti penjualan surat
pengampunan dosa, dimana seseorang boleh membeli surat pengampunan dengan
nilai yang tinggi dan mendapat jaminan
surga walaupun berbuat kejahatan di dunia (Zakiracut, 2011).
Istilah sekuler
berasal dari bahasa latin Saeculum yang memiliki konotasi waktu dan
tempat. Waktu menunjukan sekarang sedangkan tempat dinisbahkan kepada dunia.
Jadi saeculum berarti zaman ini atau
masa kini, dan zaman ini atau masa kini menunjukan peristiwa di dunia ini, dan
itu juga berarti peristiwa–peristiwa masa kini. Adapun sekularisasi dalam kamus
ilmiah adalah hal usaha yang merampas milik gereja atau penduniawian. Sedangkan
Sekularisme adalah sebuah gerakan yang menyeru kepada kehidupan duniawi tanpa
campur tangan agama (Zakiracut, 2011).
Jadi bila
dilihat dari sejarah munculnya sekulerisme, maka dapat dipahami bahwa terdapat
faktor kuat yang membuat sekulerisme timbul dan diterima oleh masyarakat luas,
bahkan tidak hanya masyarakat Eropa, namun juga masyarakat belahan dunia
lainnya. Faktor tersebut adalah kebebasan yang didapatkan untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan seluas-luasnya dan bertindak sesuai pemikiran tersebut tanpa harus menyertakan dalil-dalil ketuhanan
di dalamnya. Hal tersebut juga didasarkan adanya pemahaman bahwa memang
demikianlah yang harus dilakukan bila ingin mencapai kemajuan, memisahkan
urusan dunia dengan urusan ketuhanan, tanpa memikirkan kembali bahwa paham
tersebut lahir dari kondisi masyarakat Kristen Eropa pada abad pertengahan yang
pada saat ini bisa jadi sudah mengalami perubahan dalam hal memaknai
perkembangan ilmu pengetahuan.
Di Indonesia sendiri paham ini dalam akhir dasawarsa terakhir telah
terlihat pengaruhnya di berbagai aspek
kehidupan manusia yang sangat terlihat jelas dalam bidang pendidikan. Meskipun
saat ini sudah mulai diberlakukan kurikulum pendidikan karakter, namun sudah
terlalu lama pendidikan di Indonesia melepaskan diri dari unsur keagamaan.
Meskipun materi pelajaran agama tetap dimasukkan sebagai mata pelajaran wajib,
namun dari pengamatan saya komposisinya dibandingkan dengan mata pelajaran lain
yang mengajarkan ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan social berbanding
1:4 setiap minggunya. 1 kali untuk pelajaran agama, dan 4 kali untuk pelajaran
lainnya.
Ternyata
kondisi tersebut memang sudah diatur sedemikian rupa melalui UU Sistem
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, yaitu antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI
tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang
berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, advokasi, keagaman, dan khusus (Naseh, 2012). Dari jenis pendidikan
yang disebutkan dalam UU tersebut terlihat jelas bahwa terjadi pembedaan antara
pendidikan umum dengan pendidikan lainnya termasuk juga pendidikan keagamaan.
Dimana pendidikan keagamaan dikhususkan pada sekolah-sekolah tertentu seperti
Madrasah bagi umat muslim dan sekolah keagamaan sejenis bagi selain umat
muslim.
Kalaupun pelajaran agama kemudian tetap
dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah umum, yang terjadi adalah seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, terdapat
suatu ketidak seimbangan komposisi waktu antara pelajaran agama dengan pelajaran
lainnya. Sikap dan perilaku yang berkembang kemudian juga menjadi tidak
berlandaskan agama, karena yang diutamakan adalah keberhasilan intelektual
peserta didik di sekolah yang dilihat dari pencapaian belajar mereka berupa
nilai atau angka-angka. Hal tersebutlah yang kemudian menjadi tolok ukur
keberhasilan pendidikan di Indonesia saat ini
Sekulerisme kemudian menyebabkan kurangnya
pemahaman masyarakat Indonesia mengenai keagamaan. Hal ini bila dibiarkan terus
menerus maka dapat mengarahkan kita pada paham atheisme yang juga sudah lebih
dulu berkembang di Eropa dan Negara-negara barat lainnya. Ateisme merupakan
prinsip filosofi yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan atau Dewa yang dimulai
pada abad ke 19 oleh seorang filsuf Jerman bernama Ludwig Feuerbach yang
menganggap Tuhan hanyalah produk proyeksi manusia. Prinsip ini juga dianut oleh
Sigmund Freud yang juga menganggap Tuhan hanya rekayasa manusia saja untuk ia
jadikan tempat bertumpu atas segala keinginannya (Vitrilia, 2010). Sementara
pada saat ini, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala
11,9% mengaku sebagai nonteis. Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis,agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di
Rusia. Persentase komunitas
tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% di
Italia sampai dengan 85% di Swedia (Wikipedia, 2012).
Di Indonesia
sendiri ateisme sudah mengalami perkembangan yang cukup mencolok. Salah satu
kasus ateisme yang sempet menggegerkan masyarakat adalah kasus penistaan agama
yang dikenakan kepada Alex Aan, seorang warga di Darmasraya, Sumatra Barat.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 18 Januari 2012 lalu, dimana Alex nyaris
diamuk massa karena ia telah memproklamirkan dirinya sebagai seorang ateis yang
tidak mempercayai keberadaan Tuhan melalui akun salah satu jejaring sosial.
Alex mengakui bahwa ia sudah tidak mengakui adanya Tuhan semenjak ia masih
kecil. Padahal ia dilahirkan, tumbuh dan berkembang di keluarga muslim.
Mengenai kasus ini Ketua Bidang MUI Sumatera Barat, Gusrizal Gazahar menyatakan
ada dua kemungkinan penyebab perilaku ateis dalam diri Alex, yaitu karena tidak
adanya kematangan dasar ilmu keagamaan dan intervensi dari pihak luar (Zid,
2012).
Mengenai
tindakan hukum yang diberlakukan kepada Alex tersebut, Harjo Winoto yang
merupakan seorang praktisi hukum (dalam Anonim,
2012) menyayangkan status Negara Indonesia yang tidak menunjukkan ketegasan,
apakah merupakan negara sekuler atau Negara berdasarkan agama, yang sudah
berlangsung cukup lama tanpa adanya klarifikasi dari pemerintah. Karena ia
berasumsi bila Indonesia merupakan negar sekuler, artinya isu agama dan isu
pemerintahan adalah dua isu yang terpisahkan, sehingga negara tidak dapat
mencampuri urusan kepercayaan atau keagamaan seseorang, karena isu yang
kemudian dikembangkan adalah isu kebebasan untuk memilih di antara lima pilihan
agama atau tidak memilih sama sekali.
Hal ini
kemudian menjadi berbanding terbalik dengan sistem pendidikan di Indonesia,
dimana sekulerisme terlihat dengan jelas, sementara dalam sistem hukum masih
terlihat suatu ketidak konsistenan pemerintah. Kasus ini juga menunjukkan bahwa
atheisme ternyata telah mengalami perkembangan yang cukup pesat di Indonesia.
Pembuktian ini dapat terlihat dari keberadaan mereka di situs jejaring sosial
dengan berbaai nama akun, seperti Indonesian Atheist Society dengan 665
anggota, Indonesian Society of Humanits dengan anggota 335 orang, atau
Indonesian Freethinkers dengan 554 anggota (Romdhon, 2011).
Perkembangan
ini pastilah disebabkan oleh banyak faktor, misalnya saja seperti yang
diungkapkan oleh seorang professor di Amerika Serikat (dalam Ariyanto, 2010), bahwa atheism dapat terbentuk karena
beberapa faktor, seperti : 1). Individu merasa malu akan kepercayaan yang
dianutnya; 2). Individu mencoba masuk ke dalam sebuah organisasi/kelompok
sosial tertentu; dan 3). Individu mengejar kenyamanan pribadi.
Berkaitan
dengan pernyataan tersebut, faktor yang pertama adalah bahwa individu merasa
malu akan agama yang dianutnya. Hal ini bisa saja menjadi dasar mengapa semakin
banyak masyarakat Indonesia yang menganut prinsip ateis, karena dengan semakin
banyaknya tindak kekerasan kolektif yang dilakukan oleh orang-orang yang
mengatasnamakan agama, sehingga mereka merasa malu untuk menganut agama yang dikoar-koarkan
oleh kelompok tersebut. Meskipun seharusnya tindakan tersebut tidak lantas
membuat mereka menjadi seorang atheis, karena dalam hal ini agama tidak bisa
dipersalahkan, namun oknum-oknum tersebutlah yang harus dipertanyakan kembali
dasar tindakannya.
Faktor yang
kedua, yaitu individu mencoba masuk ke dalam sebuah organisasi atau kelompok
tertentu. Pilihan akan hal ini merupakan hal yang wajar untuk dilakukan oleh
individu apabila ia memang memiliki dasar atau motivasi yang kuat untuk
kemudian melepaskan agamanya dan tidak mengakui keberadaan Tuhan dan
dilanjutkan dengan mengikuti kegiatan di dalam suatu kelompok atau organisasi
tertentu. Apalagi pada dasarnya manusia adalah individu yang tidak pernah puas
dan selalu ingin tahu, sehingga bisa jadi ini adalah salah satu bentuk
keingintahuannya terhadap hal yang selama ini tidak pernah terpikir olehnya.
Faktor yang
ketiga, individu mengejar kenyamanan pribadi. Maknanya bisa jadi individu
memilih tidak memeluk suatu agama dan tidak mengakui keberadaan Tuhan sehingga
ia bebas berbuat sesuai keinginannya tanpa harus dihantui perasaan bersalah
karena telah melanggar aturan yang terdapat dalam sebuah agama yang sebelumnya
dianut.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa sekulerisme merupakan gerbang utama menuju perilaku
atheisme, dan perilaku tersebut akan semakin berkembang dan menjadi-jadi dengan
adanya faktor-faktor seperti yang telah disebutkan sebelumnya, seperti halnya
yang sedang berkembang di dunia dan di Indonesia saat ini.
Anonim. 2012. KBR68H : Fenomena
Tidak Beragama di Indonesia. Diunduh dari website http://mediakeberagaman.com pada 30 Mei
2012.
Ariyanto, Nova Jono. 2010. Sekilas
Tentang Atheism. Diunduh dari website http://ruangpsikologi.com pada 30 Maret
2012.
Naseh. 2012. Pendidikan di
Indonesia, Masalah dan Solusinya. Diunduh dari website http://naseh.blog.fisip-untirta.ac.id
pada 28 Mei 2012.
Romdhon, Ismail Fajar. 2011. Eksistensi Ateisme di Indonesia (Teori Evolusi dan Atheisme Bagian 5). Diunduh
dari website http://filsafatus.blogspot.com
pada 30 Mei 2012.
Vitrilia, Shona. 2010. Penyebab Sigmund Freud Ateis. Diunduh dari website http://shonave.multiply.com pada 30
Maret 2012.
Wikipedia. 2012. Ateisme.
Diunduh dari website www.wikipedia.com
pada 30 Mei 2012.
Zakiracut. 2011. Sekularisme
Dalam Catatan Sejarah. Diunduh dari website http://zakiracut.wordpress.com pada
30 Maret 2012.
Zid. 2012. Gara-gara
Mengaku Atheis Minang di Facebook, Alexander Dihakimi Massa. Diunduh dari
website http://pekanbaru.tribunnews.com
pada 30 Maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar