Foto saya
Bengkulu, Indonesia
a lover..

Kamis, 15 September 2011

....


Matahari pagi mengguratkan secercah cahayanya ke mataku hingga aku terpaksa memicingkan mata sebelum akhirnya benar-benar terbangun, membuka mata dan menyadari hari ini aku kembali harus menjalani rutinitas yang sebenarnya sangat membosankan dan aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan dalam lingkaran kebiasaan yang menyesatkan ini.

Menyesatkan karena aku seolah telah kehilangan kendali atas diriku sendiri, aku telah menjelma menjadi sosok yang sangat tidak aku. Meski aku tahu semuanya aku awali dengan harapan yang bisa menjadikanku sebagai aku. Bukan sebagai orang yang dikenali orang selama ini.

Aku yang terlihat ceria, ekspresif, baik dan sabar. Namun sesungguhnya aku hanyalah seorang perempuan yang rapuh, introvert, dan yang paling menyedihkan aku adalah sosok yang tidak bisa mengerti diriku sendiri, apa yang sebenarnya aku inginkan, dimana tempat yang bisa membuatku tenang, siapa yang sangat aku harapkan dan bagaimana aku bisa meraih semuanya.
Aku beranjak menuju kamar mandi. Guyuran air hangat seolah melunturkan semua sesak dan penat yang sedari tadi menghimpitku, yang selalu saja membuat tidurku tidak nyenyak sehingga aku harus menggantungkan ketenangan tidurku pada beberapa butir obat penenang setiap malamnya.

Hhh, hidup macam apa ini???

Setelah merasa cukup membasuh sekujur tubuhku, aku berjalan perlahan menuju ruang penyimpanan pakaian. Aku lelah tampil sempurna setiap harinya hanya agar aku bisa terus mendapat simpati dan penghargaan dari semua orang yang memujaku sebagai sosok wanita karir zaman sekarang yang mandiri, pintar dan berkepribadian intelek.

Berlanjut pada satu tahapan lagi untuk membuat tampilanku makin sempurna. Aku mulai memoleskan riasan pada wajahku yang mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan. Apakah aku tidak bisa menjadi aku yang beranjak tua dengan normal dan menyambut semuanya dengan sukacita?

Selesai sudah semua prosesi yang menyedihkan ini. Sekarang aku memandangi pantulan wajahku di cermin, sempurna. Namun cahaya muramlah yang selalu membayangiku. Aura lelahlah yang mendominasi. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan untuk menenangkan syaraf-syarafku yang tidak pernah bisa relaks. Kemudian aku tersenyum, senyum yang merupakan pertanda bahwa sandiwara hari ini telah dimulai.
Tidak ada lagi semangat yang membuatku berangkat menjalani hari-hariku, mereka sudah meninggalkanku. Hanya teman bersuka ria yang selalu mendampingiku, namun tak pernah ada yang mau menjadi teman berbagi untukku.

Apa yang sebenarnya sedang aku jalani??

Siapa tokoh yang sedang aku perankan??

Kapan aku bisa kembali menemukan diriku yang sebenarnya??

Haruskan aku menanyakan hal ini kepada Tuhan untuk kesekian kalinya dan membiarkan aku semakin bingung karena Tuhan tidak pernah menjelaskan semuanya dengan kata-kata yang mudah aku pahami?
Tuhan hanya memberikanku serentetan peristiwa kehidupan yang membuatku semakin bingung dan tidak mengenali diriku sendiri. Aku semakin sulit dalam memilih jalan yang harus aku tempuh. Pikiranku terlalu dangkal untuk mengambil semua pesannya dari setiap rangkaian peristiwa yang Ia tuliskan untukku. Namun aku tahu, Tuhan tidak hanya memperhatikan aku saja. Pasti saat ini dia sedang sibuk menuliskan cerita dan mengevaluasi setiap kisah yang Ia tuliskan untuk semua umatnya.

Aku tiba di tempat yang sebenarnya sangat ingin kuhindari. Bertemu dengan orang-orang yang sangat berpotensi menjadi aktor dan aktris terkenal. Selalu menebarkan senyuman kepada setiap orang yang mereka anggap penting agar tercipta kesan akrab dan terbentuklah jalan menuju keinginan mereka. Manusia memang rumit. Mereka tidak pernah bisa memiliki apa yang sebenarnya mereka inginkan, karena setiap keinginan mereka selalu diikuti dengan rasa tidak puas yang akhirnya membuat jalan pikiran mereka tertutup terhadap hal yang sebenarnya sangat mereka butuhkan.

Kapankah semua ini akan berakhir?

Haruskah dunia menunggu hingga terompet sangkakala terdengar gaungnya?

Manusia memang aneh.
Ada yang mengajariku untuk selalu mengingat Tuhan, namun tak jarang ada yang mengingatkanku untuk melupakan Tuhan sejenak untuk bisa berpikir logis dan rasional. Aku tidak tahu yang mana yang harus aku turuti hanya saja memang benar bahwa sesekali untuk bisa berpikir rasional aku harus menanggalkan semua atribut keyakinanku terhadapNya.

Aku makin bingung melihat semua kesepurnaan semu di sekitarku. Semuanya hadir tanpa cela karena bila ada sedikit cacat yang dianggap tak pantas ada maka tak segan-segan manusia sempurna semu ini akan menjadikannya sempurna seperti dirinya. Padahal mana ada yang sempurna di dunia. Manusia paham itu tapi mereka tidak bisa menerima itu sepenuhnya.

Manusia memang tidak pernah bisa sama. Selalu ingin adanya pembeda supaya menjadi khusus. Meskipun tanpa diupayakan manusia memang sudah berbeda satu sama lain, kembar identik sekalipun.

Hhh, mengapa pemikiranku merembet ke arah yang makin tak jelas? Sepertinya aku sudah memilih awal jalan yang salah. Dimana jalan kebenaran akan hidupku? Apakah ia bersembunyi di ujung lorong ruangan ini? Atau malah tadi ia sudah terhampar di depan mataku yang sudah tidak bisa membedakan mana kebenaran yang benar dan mana kebenaran semu? Siapakah yang bisa membawaku ke jalan itu?

Aku melewati setengah hari ini dengan kebingungan mencari jalan kebenaran itu. Aku menjadi tidak menghiraukan keadaan sekitarku. Aku menjadi orang linglung. Aku menjadi asing akan semua ini. Aku bingung. Aku memutuskan mengakhiri pemandangan sempurna semu ini. Aku berjalan keluar. Aku masih bingung. Aku tidak yakin akan semuanya. Aku makin bingung. Hingga aku merasakan dorongan mendadak. Samar-samar aku mendengar teriakan yang sebenarnya, yang tidak direncanakan. Semuanya terlihat begitu indah. Sesaat tubuhku melayang menyaksikan yang terjadi. Tubuhku bersimbah darah di hadapan sebuah mobil mewah pelengkap kesempurnaan hidup semu di tengah kerumunan manusia yang selalu memanipulasi kebenaran.

Semua menangis. Semua mengernyit. Semua tertohok. Aku tersenyum. Senyuman termanis. Senyuman terindah. Karena ini benar-benar senyum kebahagiaan sesungguhnya yang sudah lama tidak aku lakukan. Aku tersenyum karena aku akan segera mengahadap Maha Benar, Maha Sempurna, dan Maha Agung.Di sana aku tidak akan pernah lagi menemui kepalsuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar