Berawal saat pagi hari di klosetku. Saat aku menunaikan kewajibanku sebagai manusia untuk tetap menjaga kebersihan saluran cerna yang telah dipenuhi berbagai macam hasil bumi yang telah diolah menjadi sesuatu bernama makanan. Salah satu benda yang bisa membuatku gila dan frustasi karena semakin hari semakin banyak kreasi benda ini yang menarik. Indah dilihat mata, wangi dibaui, dan tentu saja menggelitik di lidah.
Klosetku bukan lah hasil rancangan arsitektur terkenal yang untuk membeli cetak biru hasil pemikiran mereka saja bisa mencapai puluhan juta rupiah. Tidak ada desain interior khusus di dalam klosetku. Semuanya pas menurutku. Apakah ini termasuk kategori kloset sehat atau tidak aku tak begitu perduli, toh aku rutin membersihkannya tiga kali satu minggu. Ruangan berukuran 2x3 meter dengan warna biru yang mendominasi setiap sudut ruangan. Dinding, lantai, bak mandi, gayung, dan kloset jongkokku sendiri dilapisi marmer biru yang cukup membuatku betah berlama-lama di sini untuk membersihkan tubuh dan melakukan berbagai ritual kehidupan yang mengharuskan aku memanfaatkan klosetku. Tak banyak properti di sini, hanya cermin gantung tempat semua tetek bengek pembersih raga yang ditata seefisien mungkin.
Pagi ini aku kembali melakukan ritual suci di kloset. Berjongkok dalam waktu lama terkadang membuat sendi-sendi lutut dan pinggangku seperti mau lepas saat mencoba berdiri. Tapi pagi ini saat berjongkok dan menatap langit melalui celah berukuran 30x30cm di atap kloset yang sengaja dibiarkan terbuka sehingga cahaya matahari dan udara bebas menerobos masuk, aku melihat segumpal awan putih bersih berlatar langit biru cerah. Sejenak tercenung melihatnya sembari berpikir sepertinya langit indah hari ini. Hari yang cocok untuk melakukan kegiatan di luar ruangan. Aku tersenyum sambil bertopang dagu pada tangan kananku.
Semakin lama melihat langit berhias awan yang perlahan bergeser, entah karena tiupan angin atau karena bumi sedang berotasi, aku terlarut dalam buaian warna biru yang menenangkan dan mendamaikan. Aku mulai berpikir bagaimana bisa Tuhan menciptakan semua yang ada di muka bumi ini, yang ada di luar tubuh bumi dengan sedemikian cermat, indah, tepat, dan mengagumkan. Sungguh Ia benar-benar cerdas.
Layaknya pemutaran ulang film-film box office di televisi yang selalu bisa menarik perhatian pemirsa meski telah ratusan kali diputar, berbagai cerita hidup yang pernah ku lewati di bawah langit biru dengan gumpalan awan putih muncul. Tidak semuanya jelas tergambar, karena seperti halnya gulungan pita film tua, ada beberapa bagiannya yang telah diserang kutu atau digigit tikus. Semuanya muncul selintas lalu hilang terhempas bayangan cerita lain. Begitu terus menerus.
Entah sudah berapa lama aku berjongkok. Tapi aku telah berhasil melihat kembali bagaimana pendiamnya aku saat masih mengenakan seragam putih dan rok biru muda, duduk di gazebo taman kanak-kanak menyaksikan teman-temanku bermain jungkat-jungkit, perosotan, ayunan, petak umpet, boneka-bonekaan, nikah-nikahan (teman-temanku yang berperan menjadi pengantin terlihat begitu bahagia saat mereka dilempari berbagai jenis bunga yang diambil dari berbagai tanaman di halaman TK, ekspresi wajah malu-malu khas anak-anak atau malah cemberut karena dia dipaksa menjadi pengantin, hahahahaha!!!!!), atau hanya sekadar berlarian mengitari sekeliling halaman TK.
Sepertinya persendian kaki dan pinggangku sudah ikut larut dalam lamunanku. Cerita berlanjut saat aku di sekolah dasar. Masih tetap pendiam, hanya menjadi penonton yang baik atas semua tingkah laku teman-temanku. Tersenyum saat mereka tertawa, atau cemas saat ada yang terjatuh atau bertengkar. Aku sendiri mengenal cukup banyak orang, tapi aku tidak yakin banyak yang mengenalku saat SD, karena aku bisa dikatakan pemalu, atau mungkin sombong??? Tapi langit sudah mulai mencuri perhatianku saat itu.
Jangan pernah mempertanyakan sudah berapa lama waktu yang aku habiskan di klosetku hari ini, karena aku sendiri tidak bisa memastikan. Sama seperti saat aku tidak mulai banyak dihadapkan dengan banyak ketidakpastian saat SMP. Kegiatan saat SMP mulai menuntutku untuk banyak beraktivitas tepat di bawah langit. Entah itu sembari dibawah pengawasan matahari yang begitu ganas memanggangku dan teman-teman, atau di bawah curahan air mata langit yang mungkin sedang bersedih. Mulai dari memenuhi pendengaran langit dengan bermain musik, atau hanya sekadar menyombongkan keceriaan bersama teman-teman.
Telah banyak kisah yang terlintas, tapi aku belum juga beranjak dari posisi semula di klosetku. Masa SMA bisa dikatakan masa dengan kisah yang paling banyak disaksikan oleh langit. Entah itu langit cerah dengan matahari yang begitu angkuh memancarkan cahayanya, atau langit teduh dengan gumpalan awan-awan putih nan indah, atau bahkan langit gelap yang hanya dihiasi sepotong rembulan dan beberapa bintang. Timbul pertanyaan dalam benakku, apakah langit pernah bosan melihatku???
Tak terhitung berapa kisahku yang disaksikan langit hingga hari ini dan aku masih berada di atas klosetku. Kembali tersenyum. Ternyata dari klosetku yang berada di bawah langit cerah hari ini aku bisa menyadari betapa langit begitu bermurah hati memberikan naungan untukku dan semua ciptaan-Nya, begitu langit berbesar hati meski terkadang aku tak begitu memperhatikan langit, betapa langit tak pernah bosan melihatku, betapa langit tetap setia menjadi penonton atas setiap tindak tandukku, betapa langit telah sudi menjadi saksi akan kehidupanku.
Semua ini baru terpikir olehku saat aku berada di sini, di kloset ini. Ternyata kloset tidak hanya melulu menjadi tempat pembuangan, tapi juga membangkitkan sedikit kesadaranku tentang sekelumit bagian yang tak akan dapat aku tolak dalam kehidupanku. Waktunya menyudahi ritual suci pagi ini. Setelah yakin akan kebersihan raga dan tempat yang juga telah berjasa karena bersedia aku hibahkan ampas tubuhku, aku menyempatkan melihat langit melalui celah tadi dan tersenyum menatap langit, langit yang hari ini akan kembali menyaksikan semua tingkahku dan menjadi saksi kehidupanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar